Bandrek, 12:35
Aku berlari, memburu bis yang sebentar lagi melaju. Huft! Sampai juga.
Para penumpang mendelik, mungkin mereka kesal menungguku yang terlalu lama di mushola rest area.
Bukan, bukan karena kelamaan solat tapi menunggu batu ponselku terisi.
Dania, sebentar lagi mas sampai ke kotamu, memberi kejutan bertemu setelah sekian bulan tak jumpa. Kunyalakan ponsel ada satu pesan,
‘Mas Fatih, maafin Dania. Hubungan kita sudahi sampai disini. Orang tua sudah tidak bisa menunggu lama, aku dijodohkan dengan seseorang … hari ini mereka melamar. Maafin Dania Mas, Dania sayang Mas … sangat.’
Deg, jantung terasa lemas. Aku menarik napas, mencoba menenangkan pikir, ahh mungkin dia bercanda. Ku telpon saja!
‘Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif ….’
Tasikmalaya, 14:50
Aku sampai di kotamu Dania, entah apa yang harus aku lakukan.
Hanya berdiri mematung, menyaksikan jalanan, haruskah nekad menemuimu?
“Bang, boleh tanya?” suara seorang perempuan membuyarkan lamun.
“Iya, ada apa?”
Tanpa kusadari kapan datangnya, tiba-tiba dua orang di belakangku menodongkan sesuatu ke punggungku,
“Serahkan ponsel, uang, dan tas kepada wanita di depanmu!”
Tanpa berpikir panjang, aku berbalik kemudian meninju salah satu dari dua orang yang menodongku.
Bugh!
Clepp!
Kurasakan ngilu di pinggang kiri, perih … untuk kemudian pandanganku kabur dan gelap.
Rumah Sakit, 11:30
“Alhamdulillah Mas sudah sadar. Saya Abah Haris, kemarin saya temukan Masnya pingsan dengan luka tusukan di pinggang kiri. Mas dirampok?”
Aku hanya mengangguk.
“Nama Mas siapa? Berasal dari mana?”
Tak sepatahkatapun terucap, anganku melayang menyebut satu nama, Dania. Bapak di depanku umurnya mungkin sekitar enam puluh tahun, dia memandang penuh iba.
“Ya sudah, istirahatlah dulu. Nanti Abah ke sini lagi,” aku mengangguk.
Dania, lihat aku! Sakit hati yang aku rasakan lebih sakit dari segala luka badan yang kualami sekarang.
Lamunanku memuncak, mata meraung menatap langit-langit kamar rumah sakit.
Aku terkapar dalam hening, sampai sesuatu membangunkanku … menyiram setiap sunyi dengan panggilan-Nya. Riuh, kutinggalkan sepi menuju cinta-Nya yang abadi.
—————
Satu tahun sudah aku di kota ini, tinggal bersama Abah Haris di rumah petak samping mesjid yang diwakafkan untuk beliau sebagai marbot.
“Bisu, tadi Pak RW ke sini … memberi uang ongkos ngecat mesjid kemarin. Terima saja, ini rezeqi buatmu.”
Aku mengangguk.
Bisu, yaa tak hanya Abah Haris yang memanggilku Bisu, semua warga di sini memanggilku dengan nama itu. Sejak Abah Haris menolongku setahun yang lalu, aku tak pernah berkata sepatah katapun.
Hari ini mesjid begitu ramai, akan ada dzikir akbar yang dipimpin oleh ustadz dari Serang. Kutengok jam, sudah pukul delapan pagi. Segera kuambil wudhu untuk kemudian menunaikan shalat dhuha yang rutin kulakukan setahun ini. Ahh iya, betapa bersyukurnya aku dihempaskan badai kasih sayang-Nya ke tempat ini, padahal dulu jangankan solat sunat, solat wajib pun ,masih bolong-bolong. Astagfirullah.
Tangan menengadah, merapal doa yang tak pernah terganti. Dania Az Zukhruf, satu nama yang selalu kuyakinkan dalam asa-Nya … satu nama yang melengkapi seluruh rasa yang berada diantara jantung hati.
Rabb, detik ini kuikhlaskan asa dalam rasa ini.
“Maaf Bu, yang namanya Mas Bisu yang mana yaa … apa Ibu tau? Saya mau mewakafkan Al-qur’an,”
Suuuaraaaa itu.
Suara itu suara yang sangat tak asing di telinga. Kubalikkan badan, terlihat lima shaf dari tempatku berada seseorang dengan jilbab lebar berwarna hitam … warna kesukaannya.
Tiba-tiba saja mulut yang setahun terkunci tegas merafal nama,
“Dania Az Zukhruf ….”
Rabb, saat aku mengikhlaskan, Engkau menampakkan dia yang ingin kulupakan. Tega sekali Engkau!
Astagfirullah … Astagfirullah … Astagfirullah kenapa aku berprasangka buruk. Baiklah akan kutemui dia.
Aku bangkit dari dudukku, berjalan menemuinya.
“Nah, ini yang namanya Mas Bisu teh … Mas, ini ada yang mau mewakafkan al-qur’an,” kata Ibu di hadapan Dania.
Dania menoleh ke arahku,
“Mas Fatih,” katanya, aku pun tersenyum. “Dania lama tak jumpa, sama siapa kesini?” tanyaku, tanpa basa-basi. Ibu-ibu di samping Dania hanya bisa melongo mendengar aku berbicara.
”Sama Ibu, Mas. Ibu ada di luar. Ayo Mas temui Ibu!” Dania nampak sekali bersemangat, bahkan dia tak bertanya kenapa aku bisa ada di kota ini.
“Suamimu ikut Dan?” Ahh! kenapa aku tak bisa mengerem pertanyaan ini.
“Dania belum menikah, Mas. Seminggu sebelum pernikahan dilangsungkan, Dania sakit struk … pernikahan pun dibatalkan. Dania mencoba menghubungi Mas tapi gak bisa. Alhamdulillah sudah sebulan ini Allah menyembuhkan, sebagai bentuk rasa syukur, Dania mewakafkan al-quran ke tiga puluh mesjid, itu nazar waktu sakit, Mas sudah berkeluarga?”
Aku tersenyum, senyum termanis yang pernah kusunggingkan dihadapannya.
Yaa Rahman … Yaa Rahim … Yaa Aziz, inikah jalan menuju asaku.
“Dania Az Zukhruf, maukah engkau membangun keluarga sakinah mawadah warohmah bersamaku?”
Pertanyaan yang kubungkam dalam bisu setahun lamanya, akhirnya kuutarakan di sini, di rumah-Mu Rabb.
Dania tersenyum menyambut asaku.
#sinaina, 270216