Cerpen 

PEREMPUAN KEDUA

Oleh : Anina Sinai
“Sayang, kenapa sarapannya tidak dihabiskan?” 
Dia bertanya seolah-olah peduli padaku. Lihat dirinya, sudah sangat rapi di hari Minggu pagi, padahal biasanya setiap hari libur, sebelum dzuhur berkumandang masih mendengkur. Semalam dia bercerita, ada perempuan selain aku yang dia cintai, katanya kelebihan dia dariku adalah dirinya pandai memasak. Dia akan menikahinya. 
“Iyaa, sebentar ….” 
Sepertinya perempuan itu sudah datang, dia berlari seperti anak kecil mengejar penjual ice cream, meninggalkan kebisuanku. 
Mereka datang, aku harus memasang wajah manis. Perempuan itu menghampiriku.
“Hai, saya Aina, sebentar lagi akan menjadi perempuan kedua yang tinggal di rumah ini.” 
Aku menatap wajahnya lekat, kemudian … cakar cakar cakar. 
“Sayaaaang! Masuk kandang! Tidak akan ada makan siang untukmu … aku tak akan kasihan walau kau terus mengeong.” 
Tasikmalaya, 19 Juni 2017

Cerita Anak

Hantu Merah di Bukit Panyaeuran

Oleh  : Anina Sinai
Hari ini Tisa, Adit, Mimi dan Rani janjian berkumpul di rumah Farid. Rencananya mereka akan pergi ke Bukit Panyaeuran, mengisi liburan sambil mengerjakan tugas sekolah yaitu melukis pemandangan. 
“Assalamualaikum,” suara empat orang anak serempak mengucapkan salam. 
“Waalaikumsalam, kalian lama sekali … sudah jam delapan ini, mataharinya keburu tinggi!” Farid yang sudah satu jam menunggu mengutarakan kekecewaannya.
“Maaf Farid, tadi kami agak lama di rumah Rani, Rani membantu ibunya dulu membereskan warung,” kata Tisa.
“Oh, begitu … ya sudah ayo kita berangkat!” Farid memaklumi.
Tisa, Adit, Rani, Mimi dan Farid adalah murid kelas lima Sekolah Dasar. Mereka berlima memebentuk geng lima sekawan sejak kelas empat. 

Akhirnya lima sekawan itu berangkat ke Bukit Panyaeuran. Dibutuhkan waktu setengah jam untuk sampai ke sana, menyusuri pesawahan kemudian menyebrangi sungai kecil. 
“Mimi … Mimi ….!” Di tengah perjalanan terdengar suara perempuan memanggil-manggil.
“Eh, kalian dengar tidak? Seperti ada yang memanggil namaku,” kata Mimi.
“Jangan dijawab dan jangan menengok ke belakang, Mi. Mungkin itu hantu.” Rani menjawab sambil bergidig.
Ke lima sekawan pun mempercepat langkah kakinya. Adit yang berjalan paling belakang tiba-tiba berteriak.
“Aarrrghhh, ampun! Jangan makan aku! Aarghhhh!” Ke empat sahabatnya langsung menghentikan langkah kakinya. Tawa mereka meledak ketika melihat Adit yang memejamkan mata sambil teriak-teriak.
“Ka … kalian kenapa tertawa, to … tolongin aku! Bahu ‘ku dipegang ha … hantu!” Adit terbata.
“Adit, ini Tante Rina mamahnya Mimi,” kata perempuan yang Adit sangka hantu, “Kalian semua pulang! Jangan pergi ke Bukit Panyaeuran, bahaya ada hantu merah. Terutama kamu Mimi, kalau mau pergi itu ijin dulu sama Mamah, tadi Mamah nyariin kamu untung mamahnya Farid ngasih tahu.” lanjutnya.
——-
“Sudah mau dzuhur, hujan makin deras. Kalau tau mau hujan mending ikut pulang bareng Tante Rina,” kata Tisa.
“Iya, Adit sama Mimi pasti lagi nonton TV sambil makan siang, lah kita neduh di saung butut nahan lapar,” gerutu Rani.
Farid tidak mempedulikan percakapan mereka, pandangannya tertuju pada rumah kosong yang kabarnya di huni hantu merah. Rumah itu dibangun satu tahun yang lalu, tapi tidak ada penghuninya. Kabarnya pemiliknya adalah orang kota bernama Pak Wira yang sekarang keberadaannya menghilang tanpa kabar.
“Rid, ngelihatin apaan sih?” kata Rani.
“Kalian tunggu di sini, aku mau ke rumah si hantu merah. Aku yakin hantu merah yang dibicarakan orang-orang kampung sebenarnya adalah Pak Wira yang menghilang tanpa kabar. Kalau dalam waktu setengah jam aku tak kembali, kalian lari ke warung yang di ujung bukit, kasih tahu kalau aku dalam bahaya.” Tanpa persetujuan dari Rani dan Tisa, Farid berlari menuju rumah hantu merah.
Kini Farid berada di halaman rumah bercat merah yang tak terawat, bau dupa mulai menusuk hidung, hatinya mulai ragu untuk masuk. Suasanya benar-benar seperti di film yang pernah ia tonton, walaupun siang hari tapi hujan membuat suasana mencekam.
‘Astagfirullahaladzim … aku tak boleh takut, aku yakin Allah melindungiku. Bismillahirahmanirrahiim.’ Farid bergumam dalam hati, menyemangati dirinya sendiri.
Farid mulai mengintip di celah pintu, tiba-tiba saja pintu terbuka. Di hadapannya berdiri seorang anak perempuan seusianya berambut panjang memegang boneka sambil menangis. Tubuh Farid kaku seketika, belum hilang kagetnya tiba-tiba saja muncul seorang nenek-nenek menatap Farid penuh amarah.
——
“Rid, kamu belum cerita sama kita, kemarin waktu kamu ke rumah hantu merah, kamu lihat sesuatu? Ada nenek-nenekkan? Hantu atau manusia?” Rani menyelidik.
Farid tak menjawab, dia telah berjanji akan menyimpan rahasia ini. Rumah bercat merah itu sebenarnya tak berhantu. Nenek yang tinggal di sana adalah ibunya Pak Wira, sementara anak perempuan yang seusia Farid adalah adalah anak Pak Wira yang trauma karena diejek teman-teman sekolahnya karena mempunyai ayah dan ibu pengedar narkoba yang sedang dalam pencarian polisi.
Tasikmalaya, 26 Maret 2016
#Sinai

Cerita Anak

Judul : Biji Nangka Ajaib
Oleh   : Anina Sinai

“Belajar nya jangan sambil ngelamun atuh, Gal.”

Suara Ibu Aminah membuyarkan lamunan  Galih yang kosong. Anak duduk di kelas empat SD itu menghampiri ibunya yang tengah melipat baju.

“Bu, Galih gak mau sekolah lagi,” katanya murung.

“Kenapa?” Ibunya heran, anak yang selalu bersemangat untuk sekolah itu tiba-tiba berbicara seperti itu.

“Galih malu, Bu. Arga ngeledekin Galih, katanya sepatu Galih jelek.”

Ibu Aminah menarik napas, sebisa mungkin menahan tangis.

“Ya sudah, kalau gitu sekarang Galih tidur.”

“Dongengin ya, Bu.”

Ibu Aminah mengangguk sambil tersenyum.

“Pada zaman dahulu, ada seorang anak yang sangat miskin. Dia tak mempunyai ayah, ibu, bahkan kerabat. Kehidupannya sangat memprihatinkan, untuk bertahan hidup, setiap hari dia mencari makanan ke dalam hutan. Suatu hari di siang yang panas, anak itu tak menemukan satu pun buah-buahan yang matang. Akhirnya dia duduk di bawah pohon besar di pinggir sungai sambil berkhayal menjadi orang kaya. Dia pun tertidur, ketika terbangun seorang kakek berdiri di hadapannya, kemudian memberikan tiga potong nangka sambil berkata, ‘makanlah nangka ini supaya laparmu sedikit berkurang, bijinya jangan kau buang karena ketika kau melemparkan biji itu ke sungai sambil mengucapkan permintaan maka permintaanmu terkabul’. Setelah berkata demikian sang kakek menghilang.
Tanpa pikir panjang sang anak pun memakan buah nangka tersebut. Kini, tinggal tiga biji nangka ajaib di tangannya. Dia mulai berpikir apa yang harus dipintanya. Kemudian dia pun memutuskan untuk meminta istana, jadi raja, dan berumur panjang. Dia mulai bersiap melempar biji nangka itu ke sungai, tapi kakinya tersandung, dan kata yang terucap malah hidung panjang. Seketika hidung si anak jadi panjang, menjulur sampai ke tanah. Dia menangis, akhirnya dia melempar biji nangka yang kedua, dia meminta hidung panjangnya dihilangkan. Alangkah terkejut nya dia, sekarang dia tak punya hidung. Di permintaan ketiga akhirnya dia meminta hidungnya kembali seperti sedia kala. Si anak menyadari —“

“Besok Galih mau sekolah, Bu.” Galih memotong dongeng ibunya, “Galih harusnya bersyukur, Galih punya kaki, punya ibu, setiap hari masih bisa makan.”

“Anak pintar, lagian juga Galih, mungkin Arga tak bermaksud menghina Galih, yang Arga maksud sepatu Galih kotor. Tuh lihat, ada noda saus,” kata Ibu aminah sambil menunjuk noda saus di sepatu Galih yang lusuh.

Tasikmalaya, 13 Oktober 2016

R(A)SA

Bandrek, 12:35

Aku berlari, memburu bis yang sebentar lagi melaju. Huft! Sampai juga.
Para penumpang mendelik, mungkin mereka kesal menungguku yang terlalu lama di mushola rest area.
Bukan, bukan karena kelamaan solat tapi menunggu batu ponselku terisi.

Dania, sebentar lagi mas sampai ke kotamu, memberi kejutan bertemu setelah sekian bulan tak jumpa. Kunyalakan ponsel ada satu pesan,

‘Mas Fatih, maafin Dania. Hubungan kita sudahi sampai disini. Orang tua sudah tidak bisa menunggu lama, aku dijodohkan dengan seseorang … hari ini mereka melamar. Maafin Dania Mas, Dania sayang Mas … sangat.’

Deg, jantung terasa lemas. Aku menarik napas, mencoba menenangkan pikir, ahh mungkin dia bercanda. Ku telpon saja!

‘Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif ….’

Tasikmalaya, 14:50

Aku sampai di kotamu Dania, entah apa yang harus aku lakukan.
Hanya berdiri mematung, menyaksikan jalanan, haruskah nekad menemuimu?

“Bang, boleh tanya?” suara seorang perempuan membuyarkan lamun.

“Iya, ada apa?”

Tanpa kusadari kapan datangnya, tiba-tiba dua orang di belakangku menodongkan sesuatu ke punggungku,

“Serahkan ponsel, uang, dan tas kepada wanita di depanmu!”

Tanpa berpikir panjang, aku berbalik kemudian meninju salah satu dari dua orang yang menodongku.

Bugh!

Clepp!

Kurasakan ngilu di pinggang kiri, perih … untuk kemudian pandanganku kabur dan gelap.

Rumah Sakit, 11:30

“Alhamdulillah Mas sudah sadar. Saya Abah Haris, kemarin saya temukan Masnya pingsan dengan luka tusukan di pinggang kiri. Mas dirampok?”

Aku hanya mengangguk.

“Nama Mas siapa? Berasal dari mana?”

Tak sepatahkatapun terucap, anganku melayang menyebut satu nama, Dania. Bapak di depanku umurnya mungkin sekitar enam puluh tahun, dia memandang penuh iba.

“Ya sudah, istirahatlah dulu. Nanti Abah ke sini lagi,” aku mengangguk.

Dania, lihat aku! Sakit hati yang aku rasakan lebih sakit dari segala luka badan yang kualami sekarang.
Lamunanku memuncak, mata meraung menatap langit-langit kamar rumah sakit.
Aku terkapar dalam hening, sampai sesuatu membangunkanku … menyiram setiap sunyi dengan panggilan-Nya. Riuh, kutinggalkan sepi menuju cinta-Nya yang abadi.

—————

Satu tahun sudah aku di kota ini, tinggal bersama Abah Haris di rumah petak samping mesjid yang diwakafkan untuk beliau sebagai marbot.

“Bisu, tadi Pak RW ke sini … memberi uang ongkos ngecat mesjid kemarin. Terima saja, ini rezeqi buatmu.”

Aku mengangguk.
Bisu, yaa tak hanya Abah Haris yang memanggilku Bisu, semua warga di sini memanggilku dengan nama itu. Sejak Abah Haris menolongku setahun yang lalu, aku tak pernah berkata sepatah katapun.

Hari ini mesjid begitu ramai, akan ada dzikir akbar yang dipimpin oleh ustadz dari Serang. Kutengok jam, sudah pukul delapan pagi. Segera kuambil wudhu untuk kemudian menunaikan shalat dhuha yang rutin kulakukan setahun ini. Ahh iya, betapa bersyukurnya aku dihempaskan badai kasih sayang-Nya ke tempat ini, padahal dulu jangankan solat sunat, solat wajib pun ,masih bolong-bolong. Astagfirullah.

Tangan menengadah, merapal doa yang tak pernah terganti. Dania Az Zukhruf, satu nama yang selalu kuyakinkan dalam asa-Nya … satu nama yang melengkapi seluruh rasa yang berada diantara jantung hati.
Rabb, detik ini kuikhlaskan asa dalam rasa ini.

“Maaf Bu, yang namanya Mas Bisu yang mana yaa … apa Ibu tau? Saya mau mewakafkan Al-qur’an,”

Suuuaraaaa itu.

Suara itu suara yang sangat tak asing di telinga. Kubalikkan badan, terlihat lima shaf dari tempatku berada seseorang dengan jilbab lebar berwarna hitam … warna kesukaannya.
Tiba-tiba saja mulut yang setahun terkunci tegas merafal nama,

“Dania Az Zukhruf ….”

Rabb, saat aku mengikhlaskan, Engkau menampakkan dia yang ingin kulupakan. Tega sekali Engkau!

Astagfirullah … Astagfirullah … Astagfirullah kenapa aku berprasangka buruk. Baiklah akan kutemui dia.

Aku bangkit dari dudukku, berjalan menemuinya.

“Nah, ini yang namanya Mas Bisu teh … Mas, ini ada yang mau mewakafkan al-qur’an,” kata Ibu di hadapan Dania.

Dania menoleh ke arahku,

“Mas Fatih,” katanya, aku pun tersenyum. “Dania lama tak jumpa, sama siapa kesini?” tanyaku, tanpa basa-basi. Ibu-ibu di samping Dania hanya bisa melongo mendengar aku berbicara.

”Sama Ibu, Mas. Ibu ada di luar. Ayo Mas temui Ibu!” Dania nampak sekali bersemangat, bahkan dia tak bertanya kenapa aku bisa ada di kota ini.

“Suamimu ikut Dan?” Ahh! kenapa aku tak bisa mengerem pertanyaan ini.

“Dania belum menikah, Mas. Seminggu sebelum pernikahan dilangsungkan, Dania sakit struk … pernikahan pun dibatalkan. Dania mencoba menghubungi Mas tapi gak bisa. Alhamdulillah sudah sebulan ini Allah menyembuhkan, sebagai bentuk rasa syukur, Dania mewakafkan al-quran ke tiga puluh mesjid, itu nazar waktu sakit, Mas sudah berkeluarga?”

Aku tersenyum, senyum termanis yang pernah kusunggingkan dihadapannya.

Yaa Rahman … Yaa Rahim … Yaa Aziz, inikah jalan menuju asaku.

“Dania Az Zukhruf, maukah engkau membangun keluarga sakinah mawadah warohmah bersamaku?”

Pertanyaan yang kubungkam dalam bisu setahun lamanya, akhirnya kuutarakan di sini, di rumah-Mu Rabb.
Dania tersenyum menyambut asaku.

#sinaina, 270216

Maksiat, Penyakit dan Ampunan

Selalu ada percakapan menarik dalam sinetron religi Para Pencari Tuhan. Seperti  beberapa waktu lalu, tentang Bang Syam yang meminta jatah makannya dipisah dengan pengungsi lain karena beliau menderita kolesterol, gula, osteoforosis sampai sakit ginjal. 

Paul bertanya, “Bang Syam, itu sampeyan sampai masuk masalah spektakuler itu kenapa? Apa ente pernah durhaka terhadap orang tua?” 

“Bukan, saya sewaktu muda sudah dzholim terhadap diri saya sendiri. Mabuk-mabukkan, pakai minuman keras dan narkotika.” 

“Pernah main cewek juga?” Tanya yang lain. 

“Saya belum bilang begitu.” 

“Terus apa dong selain narkoba?” 

“Judi. Kalau judi … kan duduk berlama-lama, bergadang sampai dua hari dua malam … kan tidak ada judi main sembari lari-larian.” Bang Syam menjelaskan diselingi tawa. 

“Saya dulu juga rajin judi, tapi buktinya sekarang tak ada masalah apa-apa.” Bora menimpali. 

“Yang namanya berjudi, itu adrenalinnya naik, ketegangan tambah naik, asam lambungpun ikut naik. Ditambah merokok, belum kopi, waduh bagaimana rasanya lambung kita itu … sangat kecut, coba bayangkan sendiri.” Bang Syam menjelaskan sambil membaui bau mulutnya sendiri. 

Dulu saya pernah punya teman kerja yang kisah hidupnya hampir sama seperti Bang Syam, dia senang judi, minum-minuman keras, bahkan main perempuan. Usianya bertaut sepuluh tahun di atas saya. Awal mula saya tahu dia pernah menjalani kehidupan di bawah normal adalah ketika saya heran melihat dia keluar masuk toilet. Dalam satu jam dia bisa sampai 5 kali buang air. Setelah mempertimbangkan bertanya atau tidak, akhirnya saya memberanikan bertanya. 

“Mas, kok buang air sejam bisa lima kali gitu … apa gak lemes?” 

“Lemeslah, tapi gimana lagi, ini hasil dosa. Siapa tahu dengan begini dosa-dosa berkurang.” 

Saya hanya mengangguk enggan bertanya lebih jauh, tapi kemudian dia melanjutkan ceritanya. 

“Dulu, aku tuh pernah dirawat di rumah sakit, Na. Sepuluh bulan. Aku ini pecandu narkoba, suka mabok, judi, main perempuan. Sebelum menikah aku enggak pernah pacaran, tapi hampir tiap malam gonta-ganti pasangan. Ibarat kata buat apa miara kambing, mending beli satenya.” 

“Maksudnya?” 

Dia hanya tersenyum, kemudian meneruskan ceritanya. 

“Suatu hari tiba-tiba aku jatuh pingsan saat sedang berada di diskotik. Ingat-ingat sudah ada di Rumah Sakit. Aku gak bisa ngapa-ngapain. Sepuluh bulan hanya berbaring. Harta Bapakku yang hanya seorang kepala sekolah, habis buat biaya kesembuhanku. Hampir tiap malam Ibu menangis. Sejak saat itu aku minta kesembuhan sama Gusti Allah, aku janji gak bakal ngelakuin hal-hal buruk lagi, aku ingin bisa jalan lagi, diberi ujian penyakit yang lain tak mengapa asal aku bisa jalan lagi. Tak berselang lama aku beneran sembuh. Tapi sesuai permintaanku, Gusti Allah memberiku penyakit mencret-mencret ini, sudah hampir 4 tahun.” 

“Coba Mas rutinin minum madu,” 

Baruuu saja saya ngomong, ada penjual madu lewat. Akhirnya beliau membelinya, kata pedagangnya madunya asli. Dan ternyata memang benar, selang beberapa waktu atas izin Allah buang airnya tak seintens sebelum-sebelumnya. 

Allah SWT berfirman:

ثُمَّ كُلِيْ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا   ۗ  يَخْرُجُ مِنْۢ بُطُوْنِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ فِيْهِ شِفَآءٌ لِّلنَّاسِ ۗ  اِنَّ فِيْ ذٰ لِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan, lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.”
(QS. An-Nahl 16: Ayat 69)

Ternyata sakit yang diderita itu adalah alarm atas dosa kita. Entah sakit itu ringan atau sakit itu berat. Mau berpikirkah kita? Dosa apa yang kita lakukan? Dosa yang terasa atau tak terasa. Mampukah kita bersabar? Lantas kenapa Allah menghadiahi ampunan ketika kita bersabar atas sakit yang kita derita? Karena ketika sakit orang-orang yang bersabar atas sakitnya ingat dosa, berserah pada-Nya tentu dengan diiringi ikhtiar untuk bisa sembuh, maka sakitnya menjadi penggugur atas dosa yang terlewat. Wallahualam bishawab.
.

Tasikmalaya, 20 Ramadhan 1438 H
#sinaina 

Review Buku KKPK Rahasia Aisyah

Judul Buku            : Rahasia Aisyah

Penulis                   : Naila Yumna Salsabila

Penyunting            : Dadan Ramadhan dan Saptorini

Cetakan Pertama : Desember, 2016

Penerbit                 : Mizan

Jumlah Halaman : 108 halaman

ISBN                       : 978-602-420-060-2
Ammar menyalakan keran air, tetapi airnya tidak keluar. Tak lama, keran itu justru mengeluarkan darah. 
“Hah, kok darah?” Ammar sangat kaget. 
Tiba-tiba ada suara, “tidak usah mandi! Kamu sudah menghabiskan air di dalam perutku! Sekarang kamu sudah tahu akibatnya.” 
“Ka … ka … kamu siapa?” 
“Aku adalah Bumi! Persediaan airku habis karena kamu! Sekarang kamu yang harus tanggung jawab!” 
Tiba-tiba, keluar tangan-tangan panjang dari lubang saluran air yang berusaha menangkap tubuh Ammar. (Balas Dendam Bumi, hal 59) 
Aisyah adalah murid baru yang dicap sombong oleh teman-temannya. Setiap hari dia berangkat sekolah naik taksi. Di sekolah Aisyah tidak mau bergabung dengan temannya, ketika ada yang mendekati dirinya maka dia akan menjauh. Bukan hanya itu, dia juga pernah bertabrakan dengan temannya, hingga temannya terjatuh dan buku-bukunya berserakan. Bukannya minta maaf Aisyah malah berlari menjauh. 
Suatu hari tanpa sengaja, temannya melihat Aisyah tengah bercakap-cakap dengan sopir taksi yang selalu mengantarnya. Kalau dengan sopir saja dia bisa ramah kenapa dengan teman-temannya sombong. Ada apa dengan Aisyah? (Rahasia Aisyah, hal 89) 
Terdapat tigabelas cerpen di buku KKPK Rahasia Aisyah ini. Buku yang menarik dan sarat dengan pesan buat pembacanya terutama anak-anak. Sebelum saya baca, buku ini terlebih dahulu dibaca adik yang  berumur 10 tahun, dia menyukai keseluruhan cerita yang disajikan karena mudah dipahami. Salah satu cerita yang dia sukai adalah Hantu Game, dia jadi berpikir ulang untuk tidak main game lama-lama. 
Buat Kakak, Ayah, Bunda, bukunya boleh banget buat tambahan bacaan si kecil. Buku ini sudah terdapat di Gramedia dan dijual online juga. 


Tasikmalaya, 7 Juni 2017